Habituasi
habituation /ha·bit·u·a·tion/ (hah-bich″u-a´shun)the gradual adaptation to a stimulus or to the environment, with a decreasing response.
Pertama denger kata ini dari seorang akang di FK. Saya
bilang “Dulu pas awal baru pertama di Bandung perasaan jalanannya ga begini,
keliatan lebih gede, kenapa sekarang jadi kecilan ya”. Kata beliau, “Hmm..ya
itu namanya habituasi. Respon otak kita pertama kali terhadap sesuatu, akan
berubah ketika kita merespon selanjutnya, rasanya jadi lebih biasa.”
Waktu itu nggak terlalu ngerti maksudnya apa. Sampai
akhirnya tiba masanya system NBSS (Neurobehavior and Sensing System). Ternyata,
habituasi itu sebuah proses unik di otak manusia (mungkin otak hewan juga tapi
belum tau). Lawannya sensitization (sensitisasi). Jadi, yang saya tangkap
tentang habituasi ini adalah proses menurunnya respon diri kita terhadap
sesuatu yang tadinya kita akan sangat responsive ketika dihadapkan kepadanya.
Sebaliknya, sensitisasi adalah proses meningkatnya kepekaan dan respon diri
kita terhadap sesuatu ketika dipaparkan terus-menerus, semakin terpapar semakin
meningkat kepekaan terhadapnya.
Habituation |
Contohnya, saya telah terhabituasi akan obrolan yang agak
menggeleuhkan ketika makan. Dulu, kalo lagi makan terus ngobrolin tentang,
maaf, faeces atau darah itu bakal menjijaikan banget, tapi sekarang bahkan udah
hamper ga kerasa tau-tau ngomong begitu aja dan nggak mempengaruhi cita rasa
makanan yang udah masuk mulut.
Berarti, kalo gitu, untuk terhabituasi kita harus terpapar
terus-menerus dong? Iya. Kalo malah tersensitisasi? Ah, itu biarin otak aja
yang memilah. Kita tinggal meniatkan.
Mungkin, mungkin, proses ini jugalah yang dialami pak Habibi terhadap
kesedihan yang dialaminya ketika ditinggal bu Ainun (baca buku yang dikasih
seorang teman). Ketika beliau dilanda “kesedihan” mendalam, seorang dokter
memberinya 4 pilihan. Pertama, Habibie dirawat di rumah sakit jiwa. Kedua,
tetap di rumah tapi ada tim dokter dari Indonesia dan Jerman yang ikut merawat.
Ketiga, curhat kepada orang-orang yang dekat dengan Habibie dan Ainun. Keempat,
dengan menulis. Dan beliau memilih yang keempat. Nah, ini manajemen hati yang
bagus banget ya. Buat menghilangkan kesedihannya, beliau justru memilih untuk
memaparkan dirinya dengan rekaman cerita-cerita yang ditulis kembali. Hasilnya,
terhabituasi kan, dan bangkit. Terhabituasi terhadap kesedihan karena perginya
ibu Ainun, bukan terhabituasi terhadap ibu Ainunnya.
Hmm, manusia. Bagaimanapun boleh memilih, dan harus memilih,
mana yang harus dihabituasi dan mana yang harus disensitisasi. Lagi-lagi belajar kehidupan dari materi kuliah. Oh you brain,
amazing God’s creation. Jadi sadar ternyata selama 2 tahun kuliah, banyak menghabituasi hal-hal penting dan malah nggak menghabituasi hal yang nggak penting karena belum tahu ilmunya. Harus kerja sama lebih baik lagi sama otak, dia sudah menegur untuk menghabituasi.
Berarti selama ini saya sudah terhabituasi untuk makan banyak kalo ada makanan gratis, haha
ReplyDelete