Pendidikan, Dokter, dan Mahasiswa Pendidikan Dokter


(sebuah analisis masalah di Jatinangor dan Indonesia, dari delegasi Seksi Pendidikan dan Profesi, Senat Mahasiswa FK Unpad, Putri Pamulani, 2011)
  
“Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah "dosa" setiap orang terdidik yang dimiliki di Republik ini. Anak-anak nusantara tidak berbeda. Mereka semua berpotensi. Mereka hanya dibedakan oleh keadaan.”
Anies Baswedan, Indonesia Mengajar

Seksi yang saya wakilkan dalam sekolah ini sesungguhnya memuat bahasan yang sempit dan spesifik apabila di haruskan untuk mengkaji masalah secara umum, apalagi jika di beri batas geografis. Dengan begitu, maka pada bahasan saya akan saya ‘luaskan’ untuk area Jatinangor, dan saya ‘sempitkan’ untuk wilayah geografis Indonesia secara utuh.

Pendidikan dan profesi kedokteran, khusus pendidikan, khusus profesi, dan khusus kedokteran. Untuk lingkup Jatinangor saja akan mencoba menganalisis bagian Pendidikan, sedangkan untuk lingkup Indonesia, tentu saya akan mengkajinya secara utuh yaitu, pendidikan dan profesi kedokteran dan hubungannya dengan kualitas dokter dan dunia kedokteran Indonesia. Area geografis rupanya sangat mempengaruhi bahasan yang akan saya tulis, sehingga  sub judul di bawah ini adalah berdasarkan wilayah itu.

Jatinangor
Jatinangor , sebuah kecamatan di Kabupaten Sumedang yang menjadi tempat berdirinya kampus besar seperti IPDN, Unpad Jatinangor, IKOPIN, UNWIM, dan yang baru-baru ini sedang melaksanakan pembangunan, yaitu ITB Jatinangor. Apabila kita highlight kampus-kampus itu, maka memang benar jika Jatinangor sangat identik dengan pendidikan. Mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia memenuhi Jatinangor, berdesakan dan bersesakan mengisi kost-kost yang tertata di kota kecil ini-kadang rapi kadang sangat tidak rapi. 

Akan tetapi, jika kita berpindah keluar sedikit saja dari jalan jalur IPDN-IKOPIN-ITB-Unpad sedikit ke arah Sumedang atau ke belakang kampus Unpad yang masih kental suasana pedesaannya, maka tabir yang berpotensi membuat kita semakin awam akan terkuak. 

Ketika Bina Desa pada tahun pertama,  9 dari 10 warga yang saya kunjungi memliki pendidikan terakhir pada kisaran SD-SMP-SMA. Padahal, mereka yang punya tanah Jatinangor. Mereka yang pertama kali terpapar dengan berdirinya kampus-kampus besar. Tingkat pendidikan yang masih relatif rendah ini banyak sedikit berkaitan dengan keadaan sosial-ekonomi yang rendah.

Beda halnya dengan cerita salah seorang teman yang berpartisipasi menjadi guru sukarela untuk Jatinagor Edu Care. Dia menyatakan bahwa latar belakang dibentuknya program tersebut adalah karena Jatinangor masih kekurangan guru.

Jadi inilah cerminan sekilas tentang Jatinangor. Pengajarnya kurang, yang diajar juga pendidikannya hanya sampai sebatas itu.

Keberadaan kita sebagai mahasiswa tentu sangat diharapkan untuk membawa perubahan. Bukan yang instan, tetapi harus dan wajib berkesinambungan. Masyarakat memang merasa senang meskipun hanya sekedar kita kunjungi, tetapi sebatas itukah kegunaan kita di tanah Jatinangor ini? Saya rasa hal ini nantinya akan banyak membutuhkan sentuhan dari PKM juga.

Porsi kritik dan apresiasi harus di seimbangkan, seperti kata kang Poundra. Maka saya tidak hanya menulis untuk mengkritik, tetapi saya juga akan memberikan apresiasi. Apresiasi setinggi-tingginya saya haturkan pada aktivis mahasiswa yang telah menginisiasi ataupun sedang melakukan gerakan perubahan untuk membentuk kualitas pendidikan di Jatinangor agar menjadi lebih baik.

Indonesia
Akhir-akhir ini banyak topik menarik tentang pendidikan dan profesi dokter di Indonesia. Antara lain seperti RUU Pendidikan Dokter, internship, kurikulum, dan pasar bebas. Pada kesempatan ini saya hanya akan menitikberatkan pada pasar bebas yang nantinya mau tidak mau juga akan melibatkan aspek bahasan lainnya.

Perdagangan bebas di Asia Tenggara akan segera diberlakukan pada tahun 2012. Asian Free Trade Area (AFTA) yang diteken sejak 1992 bertujuan memperkuat dan meningkatkan kerja sama perdagangan negara-negara di kawasan regional Asia Tenggara. Caranya dengan liberalisasi perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif dan bea masuk,termasuk industri jasa kesehatan.
 
Menghadapi perubahan ini, cokter dan calon-calon dokter Indonesia harus dipersiapkan dalam berbagai aspek.  Hal tersebut mengemuka dalam diskusi yang diadakan oleh Pengurus Besar Persatuan Dokter Penyakit Dalam Indonesia (PB PABDI) bertajuk "Siapkah Dokter Indonesia Menghadapi Pasar Bebas ASEAN 2015" di Jakarta, Selasa (12/11/12).

Indonesia merupakan sasaran strategis bagi para investor asing untuk berbisnis pada bidang pelayanan jasa kesehatan. Hal ini di dasarkan pada tiga alasan yaitu
1) Jumlah penduduk Indonesia yang besar
2) Kualitas pelayanan kesehatan Indonesia yang masih belum sebaik negara lain (baik dalam bidang promosi ataupun delivery)
3) Aturan dan standarisasi dokter di Indonesia yang masih belum jelas. Kebijakan perundang-undangan terhadap tenaga kesehatan asing saat ini sangat longgar.

Menurut Prof.Zubairi Djoerban Sp.PD, pasar bebas bisa jadi kesempatan untuk meningkatkan kualitas dan daya saing dokter dan rumah sakit, tetapi pemerintah seharusnya mendahulukan kepentingan pasien. Selain regulasi yang jelas dari pemerintah, konsil kedokteran Indonesia juga perlu menyiapkan aturan-aturan.

Jelas sekali bagi kita sebagai mahasiswa kedokteran bahwa kompetisi itu akan segera datang. Maka dari itu kita harus menyiapkan mekanisme ‘fight or flight’ dokter dan calon dokter Indonesia untuk menghadapi pasar bebas ini. Memandang pasar bebas ini sebagai ‘tantangan’ tentu akan jauh lebih baik dibanding melihatnya sebagai ‘ancaman’. Memilih untuk ‘fight’ tentu akan meningkatkan kualitas dan kapasitas kita sebagai dokter Indonesia ketimbang ‘flight’ (intentionally or not). Sikap menyerah kita bukan hanya terbatas pada mengalah dan tidak mau berusaha, tetapi juga ketika kita tidak mau tahu dan tidak mau memberi tahu calon sejawat kita yang lain.

Kualitas dokter Indonesia sebenarnya tidak kalah jika dibandingkan dengan dokter-dokter luar negeri. Akan tetapi, masalah pelayanan jasa dan promosinya masih kalah jauh dengan promosi kesehatan di Malaysia dan Singapura. Memang pasien-pasien yang mampu berobat mahal seperti itu hanya 10%-15% dari pasien di Indonesia, tapi itu tetap merupakan pangsa pasar yang besar bagi mereka,”sebutnya. Dengan diberlakukannya pasar bebas pada 2015,modal dan tenaga kesehatan asing diperkirakan membanjiri Indonesia sehingga bisa mendesak dan “menyikut” tenaga kesehatan lokal jika tak mampu bersiang.Oleh karena itu,Pranawa mengharapkan adanya political will dari pemerintah yang bisa membantu menyiapkan tenaga-tenaga medis profesional menyambut hal tersebut. 

Dalam diskusi yang digelar IDI Karanganyar Jawa Tengah, Dokter Slamet mengatakan, kemampuan dan ketrampilan menangani kesehatan  dokter Indonesia tidak kalah dengan dokter di luar negeri, namun banyak dokter lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia tidak memiliki kemampuan berbahasa Inggris aktif.

Padahal, jika dokter Indonesia ingin mengembangkan karier dan berpraktek keluar negeri, peluang terbuka lebar. Dicontohkan, dokter dari Ghana Afrika Selatan dan negara-negara kecil  lainnya dengan kualitas di bawah dokter lulusan Indonesia, saat ini banyak yang membuka praktek di Amerika, karena kemampuan bahasa Inggris mereka yang baik.
 
Betapa masih banyak hal yang mesti kita benahi. Dari uraian di atas mengharuskan kita untuk memerhatikan setidaknya empat hal yaitu

1) Standarisasi dokter Indonesia dengan dokter luar negeri
Menurut Dr.Pranawa Sp.PD, pengurus PABDI bidang organisasi, dalam menghadapi serbuan pemodal asing, yang harus kita perhatikan adalah bahwa Indonesia memiliki standar dokter yang sama.
Hal ini terkait dengan kurikulum yang berbeda-beda di setiap institusi pendidikan dokter. Memang hal ini sudah menjadi kewenangan tiap institusi untuk menentukannya, tetapi mereka juga harus memperhatikan bahwa dokter lulusannya harus memenuhi standar profesi dokter Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus memperjelas standarisasi ini. Upaya yang selama ini ada seperti SKDI (Standar Kompetensi Dokter Indonesia) dan UKDI (Ujian Kompetensi Dokter Indonesia) sudah menjadi panduan yang baik untuk menginisiasi standarisasi yang lebih jelas, misal dalam hal praktik, komunikasi dengan pasien, dan ilmu pengetahuan.
Selain memperhatikan output, fakultas kedokteran di Indonesia juga harus lebih jeli dalam memilih input atau calon mahasiswa. Jangan sampai yang tidak kompeten secara ilmu pengetahuan kalah dengan yang mampu secara finansial. Karena memang itulah kenyataannya akhir-akhir ini. Hal ini mungkin akan lebih tepat jika dibahas dengan pendidikan umum mengenai regulasi SNMPTN.

2)Distribusi dokter Indonesia
Para pemodal asing sudah ditawarkan untuk masuk ke daerah Indonesia Timur, namun tetap saja memilih kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Makassar. Hal ini semakin memperjelas bahwa tujuan para pemodal asing itu adalah mencari profit, seperti yang diungkapkan oleh dr.Wisnu Pradana, Sp.PD, humas PABDI. Padahal, sesuai dengan 7 stars doctors yang salah satu poinnya adalah care provider, kita harus mengutamakan pasien. Apa gunanya jika Indonesia pnya banyak dokter, tapi masyarakat daerah pelosok tidak bisa merasakannya?
Menurut Ketua Bidang Advokasi Papdi Dr dr Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH FINASIM,MMB FACP,UU Pendidikan Dokter akan membuat siapa pun yang ada di pelosok bisa sekolah kedokteran sehingga terjadi penyebaran lulusan dokter di wilayah Indonesia.Selama ini pendidikan kedokteran dinilai amat mahal. Hal ini karena layanan kesehatan dianggap sebagai industri yang amat menjanjikan. 

3)Angka kebutuhan tenaga dokter di Indonesia
Berdasarkan data yang diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia, saat ini Indonesia masih kekurangan 13 ribu dokter, namun pihaknya optimis kekurangan tersebut akan segera terpenuhi mengingat setiap tahun sekitar 5000 dokter baru berhasil dicetak berbagai perguruan tinggi yang ada di Indonesia.
Angka ini sebisa mungkin diisi oleh putra-putra bangsa yang sedang disiapkan menjadi dokter kompeten Indonesia di masa depan, dengan kata lain kita tidak boleh kecolongan. 

4) Pelayanan kesehatan
Mengutip ungkapan dr Pranawa PhD SpPD K-GH FINASIM,anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi) bidang organisasi saat media gathering Papdi di Cikini,Jakarta, bahwa promosi kesehatan yang dilakukan negara tetangga,seperti Singapura dan Malaysia,untuk menggaet pasien dari Indonesia saat ini sudah sangat memikat.Cara promosi layanan kesehatan dari luar negeri juga bisa dibilang jauh lebih ekspansif dibandingkan di Tanah Air.Mereka menawarkan fasilitas dan pelayanan yang eksklusif sehingga membuat pasien merasa dimanjakan. “Rumah sakit di luar negeri memang belum tentu produknya lebih bagus,tapi dari segi delivery dan promosinya jauh lebih memikat.
Oleh karena itu, dokter dan calon dokter Indonesia harus dicerdaskan agar tidak hanya cerdas ilmu pengetahuannya saja tetapi juga cerdas dalam melayani dan mempromosikan kesehatan kepada masyarakat Indonesia. Bukan sekedar untuk mencari profit atau agar pasien memilih untuk berobat di klinik/dokter tertentu, melainkan sebagai bentuk pelayanan kita sebagai tenaga kesehatan profesional.

Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa kompetisi sudah di depan mata. Tidak bisa dihindari, tetapi bisa kita hadapi dan persiapkan agar kita menjadi bangsa yang menang. Tidak bisa seorang atau pihak saja yang bekerja, tetapi seluruh elemen yang masih merasa menjadi bangsa Indonesa harus terlibat. 

Dokter Indonesia harus berkompeten, cerdas, mandiri, tidak apatis, dan siap bersaing.
Dokter Indonesia pasti bisa.

Comments

  1. Keren juga bu dok..
    sekarang senat ya..hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya pak Agus. tugas nih suruh ngepost di blog, lagi musim regenerasi :D

      Delete

Post a Comment